PEMBAHASAN
A. Korupsi
Korupsi
(bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dll) adalah tindakan pejabat publik,
baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan
itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik
yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Korupsi merupakan hal yang paling
menarik untuk dijadikan sebagai jalan pintas dalam mengembalikan modal saat
pemilu (modal kampanye). Di negeri ini yang namanya korupsi sudah dijadikan
sebuah hobi, bahkan sudah menjamur dan membudaya, baik di tingkat daerah maupun
pusat. Hal ini merupakan salah satu indikator degradasi moral para pejabat
bangsa ini, sehingga muncul pertanyaan besar: apakah korupsi ini disebabkan
pelaksanaan demokrasi yang kurang dewasa bangsa ini yang selalu mengedepankan
uang untuk meraih kekuasaan (tahta).
Arya Maheka (2006: 23-24) mengatakan
bahwa faktor-faktor penyebab korupsi diantaranya; rendahnya pendapatan
penyelenggara negara. Seharusnya pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi
kebutuhan penyelenggara negara, sehingga mampu mendorong penyelenggara negara
untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat, dan adanya
budaya member upeti, imbalan jasa dan hadiah. Kutipan di atas menunjukkan suatu
hal yang menarik untuk dibahas, yaitu rendahnya pendapatan penyelenggara negara
dan adanya budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah. Rendahnya pendapatan
penyelenggara Negara merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya korupsi.
Sebab, hal ini berhubungan dengan pengembalian modal ‘pribadi’ saat kampanye,
baik untuk 'money politics’ maupun lainnya.
Selain itu, budaya memberi upeti (balas
jasa) kepada sponsor (pihak-pihak yang dianggap membantu dalam mensukseskan pemilu
juga) merupakan akar masalah terjadinya korupsi, karena pihak-pihak ini secara
tidak tersurat mendapat persenan. Padahal, gaji pokok dan tunjangan untuk kebutuhan
hidup pejabat masih belum seimbang dengan pengeluaran setiap bulan, apalagi
pejabat yang terpilih dengan jalan pintas: money politics.
Amzulian Rifai (2003: 18) menjelaskan
bahwa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatra Utara
bekerjasama dengan United States Agency for International Development (USAID)
mengadakan survei tentang politik uang di Sumatra Utara. Hasilnya, sebanyak
67,9 persen dalam pemilihan Kepala Daerah Tingkat II di enam kota yang ada di
Provinsi Sumatra Utara diyakini telah melakukan politik uang. Sebanyak 26,9
persen kurang yakin dan hanya 5,2 persen saja yang tidak yakin. Selain itu, isu
politik uang ini juga diibaratkan seperti ‘hebohnya’ orang yang sedang membuang
angin di tengah keramaian. Baunya merebak kemana-mana, tetapi sangat sulit
untuk menunjuk orang yang membuang angin tersebut. Pendapat di atas menunjukkan
bahwa ada indikasi pencorengan nilai-nilai luhur sistem demokrasi yang
sesungguhnya bangsa ini. Seolah sistem demokrasi hanya sebuah ’simbol’ yang
bisa diperjual-belikan oleh penguasa rupiah, sehingga sangat wajar jika banyak
masyarakat kita yang mendadak gila karena uangnya habis untuk modal kampanye
pemilu. Akibatnya, orang yang benar-benar siap dan mampu menjadi pemimpin tidak
bisa memimpin hanya karena tidak mempunyai uang banyak. Seharusnya demokrasi
bisa membentuk warganegara yang memiliki keadaban demokratis dan demokrasi
keadaban seperti dalam pendidikan kewarganegaraan. Murray Print (dalam
Ubaidillah, dkk, 2000) mengatakan bahwa pembentukan warganegara yang memiliki
keadaban demokratis dan demokrasi keadaban paling mungkin dilakukan secara
efektif hanya melalui pendidikan kewargaan (civic education). Civic
education, dengan demikian, merupakan sarana pendidikan yang dibutuhkan oleh
negara-negara demokrasi baru untuk melahirkan generasi muda yang mengetahui
tentang pengetahuan, nilai-nilai dan keahlian yang diperlukan untuk
mengaktualisasikan, memberdayakan, dan melesatrikan demokrasi. Dari gambaran di atas terlihat adanya
degradasi moral para pejabat yang berujung pada tindakan korupsi yang digunakan
sebagai jalan pintas untuk mengembalikan modal kampanye saat pemilu, sehingga
pembatasan dana kampanye sangat strategis untuk mencegah terjadinya korupsi
tersebut. Untuk itu, tulisan ini bertujuan untuk melakukan tinjauan terhadap
langkah-langkah strategis yang dapat ditempuh dalam melakukan optimalisasi
pencegahan korupsi melalui
pembatasan dana
maksimal kampanye guna menciptakan pemerintah yang bersih
B. Degradasi
Moral
Degradasi
sering diartikan sebagai penurun suatu kualitas. dalam hal ini bisa kita lihat
dengan nyata dan fakta, baik melalui pemberitaan media televisi,koran maupun
berita online. sudah tak terhitung banyaknya pemimpin ataupun pejabat yang
tersandung masalah hukum karena perbuatannya yang melawan hukum, korupsi salah
satunya. dan para politisi yang jadi pejabat negara kita disini acap pula
melontarkan statement yang "tidak pantas" dan melukai hati
masyarakat, saya ambil contoh statement ketua dpr ri tentang tsunami di
mentawai "kalau takut dilamun ombak jangan berumah ditepi pantai"
begitulah kira2 maksud perkataannya waktu itu,, dia dikecam! kita sebagai orang
sumbar sangat marah dengan pernyataan yang tanpa empati tersebut.
Belum
lagi tata krama komunikasi politiknya.. sangat tak elok ditiru.. itu baru
sebagian yang sederhana, yang menghebohkan lagi adalah "skandal video
mesumnya" dengan siapa? apakah dengan istri sahnya? tentu saja bukan.. ini
sangat memalukan dan memuakkan. anak2 dapat menonton adegan itu hanya melalui
perangkat hp sederhana. bagaimana mereka bisa dijadikan contoh teladan?
saya
tak menampik itu adalah perbuatan oknum. namun terlampau banyak oknum yang
berkasus, pepatahnya jadi lain "akibat nila sebelanga rusaklah susu
setitik". belum lagi kasus2 korupsi yang sedang marak2nya sekarang terjadi
yang melibatkan pejabat negara dan kepala2 daerah ditanah air . semakin luntur
pula kepercayaan publik kepada mereka, apanya yang bisa ditiru dari mereka bila
perangainya saja demikian,.melawan hukum dan korupsi, padahal uang yang mereka
korup itu gunanya untuk kesejahteraan rakyat. dalam arti kata pemimpin yang
korupsi secara langsung dan pasti mengkhianati rakyatnya.
bila
kita surut kebelakang diera indonesia baru merdeka banyak sekali contoh
pemimpin yang bisa kita tiru. bung hatta pernah hampir dicabut listriknya
karena menunggak membayar,karena gajinya sangat kecil setelah pensiun jadi
wapres. untung alm ali sadikin cepat tau, dan hal itu tidak terjadi. gampang
bagi bung hatta jika ia mau hidup kaya dan bermewah2 ketika itu kalau ia mau.
tapi itu tak dilakukannya karena berpegang teguh pada prinsip hidup dan
kejujurannya.
Degradasi
moral pemimpin era kini dipicu gaya hidup matrealistis,.mereka menyalah gunakan
wewenang jabatan untuk memperkaya diri dan kelompoknya.dia tak segan2 mengkhianati
amanah yang dipercayakan rakyat yang memilihnya,,kita berharap kepada
masyarakat , pintar2lah memilih dan memberikan hak suara untuk memilih
pemimpin,jangan mau suara anda dibeli dengan sebungkus nasi dan uang 20rb.
fatal akibatnya bagi kita kedepannya. setelah dia terpilih dia bisa saja menganggap
'kan suaranya sudah saya beli,, mau apalagi'. dan pemimpin tipe begini adalah
yang potensial menghancurkan rakyatnya dengan korupsi. mengembalikan modal
biaya kampanyenya hingga terpilih, dan mengumpulkan modal untuk pemilihan yang
akan datang.. begitulah seterusnya.. dia berladang dipunggung kita dan kita
tidak menyadarinya. saya berharap untuk kedepannya jika masih ada yg main
'money poliyik' , jangan dipilih! orang ini orang MALING! menjadi pemimpin
adalah suatu jabatan terhormat dan harus ditempuh dengan cara cara terhormat
pula. lihat visi misi dan program2nya. tilik pula jejak rekamnya selama
ini,karena menjelang pilkada wajah setiap kandidat sama manisnya dan murah
senyumnya,serta rajin memenuhi undangan anda. setelah terpilih>?? nanti akan
tau siapa dia sebenarnya!
C.
Hubungan Korupsi dan Degradasi Moral pada Pejabat
Edward Gibbon
mengatakan, Kemerosotan moral adalah penyebab hancurnya bangsa-bangsa di
dunia. Kemrosotan moral
atau bisa kita sebut “akhlaq” Sejarah
umat manusia telah banyak menyaksikan pelanggaran yang serupa dengan terjadinya
kemerosotan moral (degradasi moral), dan akibatnya rezim-rezim, bangsa-bangsa
runtuh, hancur tak tersisa. Sebab, semuanya itu akan menjerumuskan masyarakat
kepada kemerosotan moral. Kemerosotan moral dengan gejala gaya hidup mewah
berlebihan itulah penyebab utama hancurnya negara. Maka, usaha menegakkan
standar moral merupakan salah satu urgensi bagi bangsa kita. Sekali lagi,
lemahnya standar moral inilah yang menyebabkan kita sekarang mengalami banyak sekali
penyelewengan dan kejahatan terutama “korupsi”, lebih-lebih korupsi dalam
bentuk conflict of interest.
Perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia penuh dengan hambatan.
Hal ini tampaknya disebabkan oleh masih melekatnya budaya feodalisme yang dulu
pernah menggelayuti bangsa ini. Ciri utama feodalisme adalah penghambaan rakyat
terhadap penguasa, dengan hirarki tinggi-rendah. Diyakini banyak orang bahwa
merajalelanya korupsi merupakan lanjutan dari tradisi upeti masyarakat feodal
itu.
Parahnya lagi, Jika kita lihat saat ini, korupsi muncul dari kebiasaan
yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberikan hadiah
kepada pejabat atau pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah
pelayanan. Kebiasaan seperti itu tampak sama dengan sistem upeti yang dulu
pernah terjadi di bangsa ini. Dan, kebiasaan koruptif inilah yang lama-kelamaan
akan menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata.
Ditambah dengan mengendornya moral dan dimensi kerohanian dalam pola
hidup modern yang materialistik, orientasi hidup kebendaan, dikaitkan dengan
feodalisme, menjadi tolak ukur tinggi rendahnya gengsi dan harga diri banyak
orang, yang mengakibatkan semua ukuran manusia di Indonesia adalah materi dan
hanya materi.
Dan, jika ada masalah mengenai materialisme atau kebendaan tersebut,
maka terdapat indikasi yang aneh terhadap bangsa kita, mereka mulai kembali
berbondong-bondong meminta bantuan kepada Tuhan untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Di mana, masyarakat telah asyik dengan materinya, Tuhan tak pernah ada
dalam ingatannya, dan jika materi itu telah hilang, seketika itu juga Tuhan
dipaksa untuk hadir dalam ingatannya. Sekali lagi, ini adalah bukti kemrosotan
moral bangsa kita.
Oleh sebab itu, sebagai bangsa yang berketuhanan, tampaknya tidak
pantas jika sampai saat ini bangsa kita terus melakukan berbagai bentuk dosa
korupsi. Kita tahu bahwa Corruption by the best is the worst - dosa yang
dilakukan oleh orang baik merupakan dosa yang terburuk - maka pelanggaran
prinsip keagamaan oleh seorang yang (mengaku) bertaqwa akan mendatangkan
malapetaka yang berlipat ganda.
Dalam hal itu, kita melihat banyak orang di antara kita menunjukkan
kesenjangan antara yang diucapkan dan yang dikerjakan. Tidak saja kita secara
formal menganut suatu agama yang mengajarkan taqwa, bahkan banyak dari kita
yang merasa, atau mengaku, telah ber-taqwa kepada Tuhan, namun bertingkah laku
seolah-olah tidak ada Tuhan. Karena itu, para pengikut agama dituntut untuk
mengamalkan dengan sebaik-baiknya ajaran Tuhan dalam segala bentuk kegiatan
baik amaliyah maupun ubudiyah.
Keyakinan akan hadirnya Tuhan bagi setiap pengikut agama, tampaknya
juga mengalami degradasi. Bagaiman tidak? Keyakinan itu muncul jika seorang
tersebut mulai dilanda masalah, dan luntur ketika kebahagiaan menghampiri. Tuhan
seolah dinilai hanya hadir dalam ruang-ruang religi dan tidak ikut campur dalam
urusan lain selain religi. Paradigma yang seperti inilah yang menjadi kesalahan
kita. Bung Hatta pun pernah
mengatakan, harusnya semua kegiatan berlangsung di bawah kuasa Tuhan Yang Maha
Esa, sebagaimana sila pertama itu menyinari empat sila yang lain dalam
Pancasila. Dan, sesuai petunjuk agama bahwa asas hidup yang benar, termasuk
hidup kenegaraan, ialah taqwa dan ridla Allah.
Dengan
begitu setiap kegiatan memiliki dasar metafisis, sehingga menghasilkan komitmen
total, yang tumbuh dari kesadaran bahwa semua perbuatan dan tingkah laku
manusia bermakna, dan akan dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Dan, jika
saja kita sadar akan hal itu, dan bahwa Tuhan selalu hadir dalam semua ruang
lingkup kehidupan kita, maka saya yakin, tidak akan ada lagi korupsi di bangsa
ini
D. Analisis
Korupsi dan Degradasi Moral Pejabat
Gagasan yang diajukan penulis adalah
“Optimalisasi Pencegahan Korupsi melalui Pembatasan Maksimal Dana Kampanye guna
Menciptakan Pemerintah yang Bersih”. Hal ini bisa dianalogkan, misalnya kita
asumsikan seorang bupati gaji pokoknya 6 juta/bulan dan tunjangannya 9
juta/bulan, sedangkan modal kampanyenya 1 milyar dengan masa jabatan 4 tahun
(48 bulan). Jumlah total yang diterima selama menjabat sebagai bupati adalah
720 juta. Padahal modalnya 1 milyar, sehingga hal ini rawan untuk mencari jalan
pintas yaitu korupsi. Sebab, jumlah itu masih belum dipotong keperluan rumah
tangga yang ‘tidak terduga’ lainnya lainnya. Dengan demikian, gagasan di atas
sangat penting dan bermanfaat bagi Negara ini dalam rangka memberantas mafia
korupsi. Sebab, selama ini pemerintahan masih belum maksimal dalam hal
memberantas korupsi, bahkan masih sebatas memberantas, tetapi belum mencapai
atau belum memiliki formula dalam mencegah terjadinya korupsi. Untuk itu,
gagasan ini sangat tepat jika diimplementasikan ke dalam pelaksanaan pemilihan
umum di negeri ini. Teknik implementasi yang akan dilakukan Adapun
mekanisme untuk mengimplementasikan gagasan ini adalah sebagai berikut:
pertama, KPU menentukan batasan maksimal dana untuk kampanye yang disetujui
oleh para calon. Namun, sebelum KPU memutuskan besar kecilnya jumlah nominal
uang untuk modal promosi (kampanye) terlebih dahulu para calon atau perwakilannya
diajak untuk berdiskusi. Akan tetapi, hal ini tidak harus, artinya KPU bisa
langsung menentukan jumlah maksimalnya meskipun tidak ’berunding’ dahulu,
tetapi harus berdasarkan analisa yang tepat dan benar. Hal ini bertujuan untuk
efisiensi biaya dan waktu yang diperlukan oleh KPU, karena kalau setiap ada
masalah harus ’membentuk’ panitia tertentu atau musyawarah dengan pihak calon,
maka akan menghabiskan uang negara yang relatif besar. Sebab, hal ini akan
memerlukan waktu yang cukup lama, karena setiap calon pasti memiliki
kepentingan-kepentingan tertentu, dan hal ini akan membutuhkan waktu relatif
lama, karena pasti ada perbedaan yang terus dipertahankan dari masing-masing
calon atau team suksesnya. Dengan demikian, hal tidak secara langsung akan memerlukan
biaya yang relatif lebih banyak. Akhirnya, hal semacam ini terkesan seperti
proyek, dimana sebuah masalah bisa digunakan untuk ’lapangan pekerjaan’.
Padahal, rakyat sangat menanti perubahan yang lebih baik di negeri ini. Kedua,
ada team pengawas independent, artinya dalam melaksanakan gagasan ini
diperlukan team atau orang yang mengawasi dan mengontrol, tetapi pengawas ini
harus dari team endependen. Tujuannya, agar kinerjanya tidak dipengaruhi oleh
pihak-pihak yang berkepentingan. Selain itu, hal itu juga bertujuan untuk
melihat bagaimana kreativitas para calon atau para team sukses dalam
menjalankan aturan ini, yaitu melakukan penyimpangan atau melanggar aturan yang
telah dibuat dan disepakati bersama. Dalam hal ini bisa melibatkan lembaga
Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebab, lembaga ini sudah lebih lama menangani
tentang korupsi, sehingga sudah banyak makan garam dibandingkan lainnya dalam
hal menangani korupsi. Selain itu, memang lembaga ini ada karena untuk
memberantas korupsi. Akan tetapi, dalam melakukan hal tersebut juga bisa
melibatkan atau membuat team pengawas pemilihan umum (pemilu), tetapi lembaga
atau team ini harus yang independen juga, misalnya dari LSM atau ICW. Hal ini
diperlukan untuk menanggulangi halhal yang tidak diinginkan, seperti berpihak
kepada salah satu calon atau partai tertentu. Adapun tugas team tersebut adalah
mengawasi dan mengontrol jalannya pemilihan umum, khususnya pada penggunaan
dana kampanye yang sudah ditetapkan jumlah maksimalnya. Team ini pada masa
tenang dan setelah selesai pemilihan harus melaporkan pengawasan terhadap para
calon atas arus keuangan yang digunakan oleh masing-masing calon. Laporan ini
juga harus didukung oleh bukti-bukti pembayaran yang kuat, sehingga terhindar
dari manipulasi data. Ketiga, mengumpulkan arus keuangan. Dalam hal ini
masing-masing calon atau yang mewakilinya mengumpulkan arus penggunaan keuangan
kampanye dengan didukung bukti kepada team pengawas, lalu pengawas
menganalisanya lalu menyerahkan laporan tersebut kepada KPU. Dan apabila ada
keganjalan dalam laporan tersebut maka pengawas bisa langsung melaporkan kepada
KPU, lalu KPU menindak lanjutinya. Dengan demikian, hal tersebut akan
memberikan informasi seberapa besar jumlah uang yang digunakan promosi para
calon, sehingga jika ada yang melebihi batas maksimal bisa segeri ditindak
lanjuti. Hal ini tidak bertujuan untuk membatasi kreativitas para calon, tetapi
hanya mendorong para calon untuk lebih kreatif dan inovatif serta efisien dalam
melakukan kampanye, sehingga jika terpilih menjadi pemimpin bisa mengelola
keuangan pemerintah dengan efisien dan tepat. Sebab, biasanya kalau kondisi
seseorang terjepit (kritis) maka ide-ide yang luar biasa akan muncul. Misalnya,
dengan cara menggunakan sapndukspanduk yang sudah dipakai, tetapi masih layak
dipakai (daur ulang). Tujuannya, supaya para calon tidak saling jor-joran promosi
antara calon satu dengan lainnya. Dari penjelasan di atas dapat ditarik benang
merah bahwa akar dari terjadinya korupsi salah satunya adalah terlalu banyaknya
modal dalam promosi saat pemilu. Untuk itu, pembatasan jumlah dana maksimal
untuk kampanye merupakan salah satu solusi tepat dan cerdas dalam mencegah
terjadinya korupsi di negeri ini.
Prediksi hasil yang akan diperoleh Tahta
dan jabatan di negeri ini masih dijadikan idola banyak orang, sehingga tidak
sedikit dari mereka yang menjadikan jalan pintas untuk mencapainya, seperti
dengan menggunakan uang untuk mencapainya (money politics), bahkan untuk
menjadi bupati saja rela menghabiskan milyaran rupiah. Akibatnya, jabatan ini
seolah seperti halnya ‘perusahaan’ yang orientasinya pada pengembalian modal
dan laba. Padahal, kita tahu sendiri bahwa jabatan itu bukan untuk ajang
mengembalikan modal, tetapi mengabdi dan menjalankan amanah yang diberikan
rakyat. Dengan demikian, gagasan ini dinilai memiliki prospek yang sangat bagus
untuk mengatasi korupsi di negeri ini, karena hal ini tidak lagi memberantas, tetapi
mencegah terjadinya korupsi. Sebab, koruptor di negeri ini seolah seperti hilang
satu tumbuh seribu, karena sangat sistematisnya, dan yang paling mendasar adalah
pemerintah masih dalam upaya memberantas, dimana kegiatan ini dilakukan setelah
menemukan indikator adanya korupsi. Namun, solusi yang ditawarkan dalam gagasan
ini adalah mencegah, artinya sebelum terjadi korupsi sudah diprotek terlebih
dahulu. Akhirnya, gagasan ini bisa dijadikan acuan untuk menciptakan pemerintah
yang bersih dan bermoral baik.
Minta postingnya GAN.!!
BalasHapus