Powered By Blogger

Selasa, 12 Februari 2013

KORUPSI DAN DEGRADASI MORAL PERJABAT


PEMBAHASAN
A.    Korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dll) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Korupsi merupakan hal yang paling menarik untuk dijadikan sebagai jalan pintas dalam mengembalikan modal saat pemilu (modal kampanye). Di negeri ini yang namanya korupsi sudah dijadikan sebuah hobi, bahkan sudah menjamur dan membudaya, baik di tingkat daerah maupun pusat. Hal ini merupakan salah satu indikator degradasi moral para pejabat bangsa ini, sehingga muncul pertanyaan besar: apakah korupsi ini disebabkan pelaksanaan demokrasi yang kurang dewasa bangsa ini yang selalu mengedepankan uang untuk meraih kekuasaan (tahta).
Arya Maheka (2006: 23-24) mengatakan bahwa faktor-faktor penyebab korupsi diantaranya; rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Seharusnya pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, sehingga mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat, dan adanya budaya member upeti, imbalan jasa dan hadiah. Kutipan di atas menunjukkan suatu hal yang menarik untuk dibahas, yaitu rendahnya pendapatan penyelenggara negara dan adanya budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah. Rendahnya pendapatan penyelenggara Negara merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya korupsi. Sebab, hal ini berhubungan dengan pengembalian modal ‘pribadi’ saat kampanye, baik untuk 'money politics’ maupun lainnya.
Selain itu, budaya memberi upeti (balas jasa) kepada sponsor (pihak-pihak yang dianggap membantu dalam mensukseskan pemilu juga) merupakan akar masalah terjadinya korupsi, karena pihak-pihak ini secara tidak tersurat mendapat persenan. Padahal, gaji pokok dan tunjangan untuk kebutuhan hidup pejabat masih belum seimbang dengan pengeluaran setiap bulan, apalagi pejabat yang terpilih dengan jalan pintas: money politics.
Amzulian Rifai (2003: 18) menjelaskan bahwa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatra Utara bekerjasama dengan United States Agency for International Development (USAID) mengadakan survei tentang politik uang di Sumatra Utara. Hasilnya, sebanyak 67,9 persen dalam pemilihan Kepala Daerah Tingkat II di enam kota yang ada di Provinsi Sumatra Utara diyakini telah melakukan politik uang. Sebanyak 26,9 persen kurang yakin dan hanya 5,2 persen saja yang tidak yakin. Selain itu, isu politik uang ini juga diibaratkan seperti ‘hebohnya’ orang yang sedang membuang angin di tengah keramaian. Baunya merebak kemana-mana, tetapi sangat sulit untuk menunjuk orang yang membuang angin tersebut. Pendapat di atas menunjukkan bahwa ada indikasi pencorengan nilai-nilai luhur sistem demokrasi yang sesungguhnya bangsa ini. Seolah sistem demokrasi hanya sebuah ’simbol’ yang bisa diperjual-belikan oleh penguasa rupiah, sehingga sangat wajar jika banyak masyarakat kita yang mendadak gila karena uangnya habis untuk modal kampanye pemilu. Akibatnya, orang yang benar-benar siap dan mampu menjadi pemimpin tidak bisa memimpin hanya karena tidak mempunyai uang banyak. Seharusnya demokrasi bisa membentuk warganegara yang memiliki keadaban demokratis dan demokrasi keadaban seperti dalam pendidikan kewarganegaraan. Murray Print (dalam Ubaidillah, dkk, 2000) mengatakan bahwa pembentukan warganegara yang memiliki keadaban demokratis dan demokrasi keadaban paling mungkin dilakukan secara efektif hanya melalui pendidikan kewargaan (civic education). Civic education, dengan demikian, merupakan sarana pendidikan yang dibutuhkan oleh negara-negara demokrasi baru untuk melahirkan generasi muda yang mengetahui tentang pengetahuan, nilai-nilai dan keahlian yang diperlukan untuk mengaktualisasikan, memberdayakan, dan melesatrikan demokrasi.  Dari gambaran di atas terlihat adanya degradasi moral para pejabat yang berujung pada tindakan korupsi yang digunakan sebagai jalan pintas untuk mengembalikan modal kampanye saat pemilu, sehingga pembatasan dana kampanye sangat strategis untuk mencegah terjadinya korupsi tersebut. Untuk itu, tulisan ini bertujuan untuk melakukan tinjauan terhadap langkah-langkah strategis yang dapat ditempuh dalam melakukan optimalisasi pencegahan korupsi melalui
pembatasan dana maksimal kampanye guna menciptakan pemerintah yang bersih

B.     Degradasi Moral
Degradasi sering diartikan sebagai penurun suatu kualitas. dalam hal ini bisa kita lihat dengan nyata dan fakta, baik melalui pemberitaan media televisi,koran maupun berita online. sudah tak terhitung banyaknya pemimpin ataupun pejabat yang tersandung masalah hukum karena perbuatannya yang melawan hukum, korupsi salah satunya. dan para politisi yang jadi pejabat negara kita disini acap pula melontarkan statement yang "tidak pantas" dan melukai hati masyarakat, saya ambil contoh statement ketua dpr ri tentang tsunami di mentawai "kalau takut dilamun ombak jangan berumah ditepi pantai" begitulah kira2 maksud perkataannya waktu itu,, dia dikecam! kita sebagai orang sumbar sangat marah dengan pernyataan yang tanpa empati tersebut.
Belum lagi tata krama komunikasi politiknya.. sangat tak elok ditiru.. itu baru sebagian yang sederhana, yang menghebohkan lagi adalah "skandal video mesumnya" dengan siapa? apakah dengan istri sahnya? tentu saja bukan.. ini sangat memalukan dan memuakkan. anak2 dapat menonton adegan itu hanya melalui perangkat hp sederhana. bagaimana mereka bisa dijadikan contoh teladan?
saya tak menampik itu adalah perbuatan oknum. namun terlampau banyak oknum yang berkasus, pepatahnya jadi lain "akibat nila sebelanga rusaklah susu setitik". belum lagi kasus2 korupsi yang sedang marak2nya sekarang terjadi yang melibatkan pejabat negara dan kepala2 daerah ditanah air . semakin luntur pula kepercayaan publik kepada mereka, apanya yang bisa ditiru dari mereka bila perangainya saja demikian,.melawan hukum dan korupsi, padahal uang yang mereka korup itu gunanya untuk kesejahteraan rakyat. dalam arti kata pemimpin yang korupsi secara langsung dan pasti mengkhianati rakyatnya.
bila kita surut kebelakang diera indonesia baru merdeka banyak sekali contoh pemimpin yang bisa kita tiru. bung hatta pernah hampir dicabut listriknya karena menunggak membayar,karena gajinya sangat kecil setelah pensiun jadi wapres. untung alm ali sadikin cepat tau, dan hal itu tidak terjadi. gampang bagi bung hatta jika ia mau hidup kaya dan bermewah2 ketika itu kalau ia mau. tapi itu tak dilakukannya karena berpegang teguh pada prinsip hidup dan kejujurannya.
Degradasi moral pemimpin era kini dipicu gaya hidup matrealistis,.mereka menyalah gunakan wewenang jabatan untuk memperkaya diri dan kelompoknya.dia tak segan2 mengkhianati amanah yang dipercayakan rakyat yang memilihnya,,kita berharap kepada masyarakat , pintar2lah memilih dan memberikan hak suara untuk memilih pemimpin,jangan mau suara anda dibeli dengan sebungkus nasi dan uang 20rb. fatal akibatnya bagi kita kedepannya. setelah dia terpilih dia bisa saja menganggap 'kan suaranya sudah saya beli,, mau apalagi'. dan pemimpin tipe begini adalah yang potensial menghancurkan rakyatnya dengan korupsi. mengembalikan modal biaya kampanyenya hingga terpilih, dan mengumpulkan modal untuk pemilihan yang akan datang.. begitulah seterusnya.. dia berladang dipunggung kita dan kita tidak menyadarinya. saya berharap untuk kedepannya jika masih ada yg main 'money poliyik' , jangan dipilih! orang ini orang MALING! menjadi pemimpin adalah suatu jabatan terhormat dan harus ditempuh dengan cara cara terhormat pula. lihat visi misi dan program2nya. tilik pula jejak rekamnya selama ini,karena menjelang pilkada wajah setiap kandidat sama manisnya dan murah senyumnya,serta rajin memenuhi undangan anda. setelah terpilih>?? nanti akan tau siapa dia sebenarnya!

C.     Hubungan Korupsi dan Degradasi Moral pada Pejabat
Edward Gibbon  mengatakan, Kemerosotan moral adalah penyebab hancurnya bangsa-bangsa di dunia. Kemrosotan moral atau bisa kita sebut “akhlaq”  Sejarah umat manusia telah banyak menyaksikan pelanggaran yang serupa dengan terjadinya kemerosotan moral (degradasi moral), dan akibatnya rezim-rezim, bangsa-bangsa runtuh, hancur tak tersisa. Sebab, semuanya itu akan menjerumuskan masyarakat kepada kemerosotan moral. Kemerosotan moral dengan gejala gaya hidup mewah berlebihan itulah penyebab utama hancurnya negara. Maka, usaha menegakkan standar moral merupakan salah satu urgensi bagi bangsa kita. Sekali lagi, lemahnya standar moral inilah yang menyebabkan kita sekarang mengalami banyak sekali penyelewengan dan kejahatan terutama “korupsi”, lebih-lebih korupsi dalam bentuk conflict of interest.
Perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia penuh dengan hambatan. Hal ini tampaknya disebabkan oleh masih melekatnya budaya feodalisme yang dulu pernah menggelayuti bangsa ini. Ciri utama feodalisme adalah penghambaan rakyat terhadap penguasa, dengan hirarki tinggi-rendah. Diyakini banyak orang bahwa merajalelanya korupsi merupakan lanjutan dari tradisi upeti masyarakat feodal itu.
Parahnya lagi, Jika kita lihat saat ini, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberikan hadiah kepada pejabat atau pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan. Kebiasaan seperti itu tampak sama dengan sistem upeti yang dulu pernah terjadi di bangsa ini. Dan, kebiasaan koruptif inilah yang lama-kelamaan akan menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata.
Ditambah dengan mengendornya moral dan dimensi kerohanian dalam pola hidup modern yang materialistik, orientasi hidup kebendaan, dikaitkan dengan feodalisme, menjadi tolak ukur tinggi rendahnya gengsi dan harga diri banyak orang, yang mengakibatkan semua ukuran manusia di Indonesia adalah materi dan hanya materi.
Dan, jika ada masalah mengenai materialisme atau kebendaan tersebut, maka terdapat indikasi yang aneh terhadap bangsa kita, mereka mulai kembali berbondong-bondong meminta bantuan kepada Tuhan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Di mana, masyarakat telah asyik dengan materinya, Tuhan tak pernah ada dalam ingatannya, dan jika materi itu telah hilang, seketika itu juga Tuhan dipaksa untuk hadir dalam ingatannya. Sekali lagi, ini adalah bukti kemrosotan moral bangsa kita.
Oleh sebab itu, sebagai bangsa yang berketuhanan, tampaknya tidak pantas jika sampai saat ini bangsa kita terus melakukan berbagai bentuk dosa korupsi. Kita tahu bahwa Corruption by the best is the worst - dosa yang dilakukan oleh orang baik merupakan dosa yang terburuk - maka pelanggaran prinsip keagamaan oleh seorang yang (mengaku) bertaqwa akan mendatangkan malapetaka yang berlipat ganda.
Dalam hal itu, kita melihat banyak orang di antara kita menunjukkan kesenjangan antara yang diucapkan dan yang dikerjakan. Tidak saja kita secara formal menganut suatu agama yang mengajarkan taqwa, bahkan banyak dari kita yang merasa, atau mengaku, telah ber-taqwa kepada Tuhan, namun bertingkah laku seolah-olah tidak ada Tuhan. Karena itu, para pengikut agama dituntut untuk mengamalkan dengan sebaik-baiknya ajaran Tuhan dalam segala bentuk kegiatan baik amaliyah maupun ubudiyah.
Keyakinan akan hadirnya Tuhan bagi setiap pengikut agama, tampaknya juga mengalami degradasi. Bagaiman tidak? Keyakinan itu muncul jika seorang tersebut mulai dilanda masalah, dan luntur ketika kebahagiaan menghampiri. Tuhan seolah dinilai hanya hadir dalam ruang-ruang religi dan tidak ikut campur dalam urusan lain selain religi. Paradigma yang seperti inilah yang menjadi kesalahan kita. Bung Hatta pun pernah mengatakan, harusnya semua kegiatan berlangsung di bawah kuasa Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana sila pertama itu menyinari empat sila yang lain dalam Pancasila. Dan, sesuai petunjuk agama bahwa asas hidup yang benar, termasuk hidup kenegaraan, ialah taqwa dan ridla Allah.
Dengan begitu setiap kegiatan memiliki dasar metafisis, sehingga menghasilkan komitmen total, yang tumbuh dari kesadaran bahwa semua perbuatan dan tingkah laku manusia bermakna, dan akan dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Dan, jika saja kita sadar akan hal itu, dan bahwa Tuhan selalu hadir dalam semua ruang lingkup kehidupan kita, maka saya yakin, tidak akan ada lagi korupsi di bangsa ini

D.    Analisis Korupsi dan Degradasi Moral Pejabat
Gagasan yang diajukan penulis adalah “Optimalisasi Pencegahan Korupsi melalui Pembatasan Maksimal Dana Kampanye guna Menciptakan Pemerintah yang Bersih”. Hal ini bisa dianalogkan, misalnya kita asumsikan seorang bupati gaji pokoknya 6 juta/bulan dan tunjangannya 9 juta/bulan, sedangkan modal kampanyenya 1 milyar dengan masa jabatan 4 tahun (48 bulan). Jumlah total yang diterima selama menjabat sebagai bupati adalah 720 juta. Padahal modalnya 1 milyar, sehingga hal ini rawan untuk mencari jalan pintas yaitu korupsi. Sebab, jumlah itu masih belum dipotong keperluan rumah tangga yang ‘tidak terduga’ lainnya lainnya. Dengan demikian, gagasan di atas sangat penting dan bermanfaat bagi Negara ini dalam rangka memberantas mafia korupsi. Sebab, selama ini pemerintahan masih belum maksimal dalam hal memberantas korupsi, bahkan masih sebatas memberantas, tetapi belum mencapai atau belum memiliki formula dalam mencegah terjadinya korupsi. Untuk itu, gagasan ini sangat tepat jika diimplementasikan ke dalam pelaksanaan pemilihan umum di negeri ini. Teknik implementasi yang akan dilakukan Adapun mekanisme untuk mengimplementasikan gagasan ini adalah sebagai berikut: pertama, KPU menentukan batasan maksimal dana untuk kampanye yang disetujui oleh para calon. Namun, sebelum KPU memutuskan besar kecilnya jumlah nominal uang untuk modal promosi (kampanye) terlebih dahulu para calon atau perwakilannya diajak untuk berdiskusi. Akan tetapi, hal ini tidak harus, artinya KPU bisa langsung menentukan jumlah maksimalnya meskipun tidak ’berunding’ dahulu, tetapi harus berdasarkan analisa yang tepat dan benar. Hal ini bertujuan untuk efisiensi biaya dan waktu yang diperlukan oleh KPU, karena kalau setiap ada masalah harus ’membentuk’ panitia tertentu atau musyawarah dengan pihak calon, maka akan menghabiskan uang negara yang relatif besar. Sebab, hal ini akan memerlukan waktu yang cukup lama, karena setiap calon pasti memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, dan hal ini akan membutuhkan waktu relatif lama, karena pasti ada perbedaan yang terus dipertahankan dari masing-masing calon atau team suksesnya. Dengan demikian, hal tidak secara langsung akan memerlukan biaya yang relatif lebih banyak. Akhirnya, hal semacam ini terkesan seperti proyek, dimana sebuah masalah bisa digunakan untuk ’lapangan pekerjaan’. Padahal, rakyat sangat menanti perubahan yang lebih baik di negeri ini. Kedua, ada team pengawas independent, artinya dalam melaksanakan gagasan ini diperlukan team atau orang yang mengawasi dan mengontrol, tetapi pengawas ini harus dari team endependen. Tujuannya, agar kinerjanya tidak dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Selain itu, hal itu juga bertujuan untuk melihat bagaimana kreativitas para calon atau para team sukses dalam menjalankan aturan ini, yaitu melakukan penyimpangan atau melanggar aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Dalam hal ini bisa melibatkan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebab, lembaga ini sudah lebih lama menangani tentang korupsi, sehingga sudah banyak makan garam dibandingkan lainnya dalam hal menangani korupsi. Selain itu, memang lembaga ini ada karena untuk memberantas korupsi. Akan tetapi, dalam melakukan hal tersebut juga bisa melibatkan atau membuat team pengawas pemilihan umum (pemilu), tetapi lembaga atau team ini harus yang independen juga, misalnya dari LSM atau ICW. Hal ini diperlukan untuk menanggulangi halhal yang tidak diinginkan, seperti berpihak kepada salah satu calon atau partai tertentu. Adapun tugas team tersebut adalah mengawasi dan mengontrol jalannya pemilihan umum, khususnya pada penggunaan dana kampanye yang sudah ditetapkan jumlah maksimalnya. Team ini pada masa tenang dan setelah selesai pemilihan harus melaporkan pengawasan terhadap para calon atas arus keuangan yang digunakan oleh masing-masing calon. Laporan ini juga harus didukung oleh bukti-bukti pembayaran yang kuat, sehingga terhindar dari manipulasi data. Ketiga, mengumpulkan arus keuangan. Dalam hal ini masing-masing calon atau yang mewakilinya mengumpulkan arus penggunaan keuangan kampanye dengan didukung bukti kepada team pengawas, lalu pengawas menganalisanya lalu menyerahkan laporan tersebut kepada KPU. Dan apabila ada keganjalan dalam laporan tersebut maka pengawas bisa langsung melaporkan kepada KPU, lalu KPU menindak lanjutinya. Dengan demikian, hal tersebut akan memberikan informasi seberapa besar jumlah uang yang digunakan promosi para calon, sehingga jika ada yang melebihi batas maksimal bisa segeri ditindak lanjuti. Hal ini tidak bertujuan untuk membatasi kreativitas para calon, tetapi hanya mendorong para calon untuk lebih kreatif dan inovatif serta efisien dalam melakukan kampanye, sehingga jika terpilih menjadi pemimpin bisa mengelola keuangan pemerintah dengan efisien dan tepat. Sebab, biasanya kalau kondisi seseorang terjepit (kritis) maka ide-ide yang luar biasa akan muncul. Misalnya, dengan cara menggunakan sapndukspanduk yang sudah dipakai, tetapi masih layak dipakai (daur ulang). Tujuannya, supaya para calon tidak saling jor-joran promosi antara calon satu dengan lainnya. Dari penjelasan di atas dapat ditarik benang merah bahwa akar dari terjadinya korupsi salah satunya adalah terlalu banyaknya modal dalam promosi saat pemilu. Untuk itu, pembatasan jumlah dana maksimal untuk kampanye merupakan salah satu solusi tepat dan cerdas dalam mencegah terjadinya korupsi di negeri ini.
Prediksi hasil yang akan diperoleh Tahta dan jabatan di negeri ini masih dijadikan idola banyak orang, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menjadikan jalan pintas untuk mencapainya, seperti dengan menggunakan uang untuk mencapainya (money politics), bahkan untuk menjadi bupati saja rela menghabiskan milyaran rupiah. Akibatnya, jabatan ini seolah seperti halnya ‘perusahaan’ yang orientasinya pada pengembalian modal dan laba. Padahal, kita tahu sendiri bahwa jabatan itu bukan untuk ajang mengembalikan modal, tetapi mengabdi dan menjalankan amanah yang diberikan rakyat. Dengan demikian, gagasan ini dinilai memiliki prospek yang sangat bagus untuk mengatasi korupsi di negeri ini, karena hal ini tidak lagi memberantas, tetapi mencegah terjadinya korupsi. Sebab, koruptor di negeri ini seolah seperti hilang satu tumbuh seribu, karena sangat sistematisnya, dan yang paling mendasar adalah pemerintah masih dalam upaya memberantas, dimana kegiatan ini dilakukan setelah menemukan indikator adanya korupsi. Namun, solusi yang ditawarkan dalam gagasan ini adalah mencegah, artinya sebelum terjadi korupsi sudah diprotek terlebih dahulu. Akhirnya, gagasan ini bisa dijadikan acuan untuk menciptakan pemerintah yang bersih dan bermoral baik.

1 komentar: